KKN(kuliah kerja nyata)..
yups itu dia judul sekaligus pertanyaan besar bagiku??ju2r sekarang aku sudah menginjak semester 7.ketika perguruan tinggi atau universitas yg lain sudah melakukan kegiatan itu,di kampusku tepatnya di universitas bakti indonesia malah di katakan tidak ada kegiatan KKN tersebut..dan lebih di utamakan PKL(praktek kerja lapangan).
agak sedikit bingung dan menambah pikiran miringku..pa lagi jurusan di kampusku belum terakreditasi ... jangan-jangan ohhhhh jangan???
apakh seperti ini system kampus yang baru berdiri???
perlu temen2 ketahui saat ini di kecamatanku (Tegaldlimo) di tempati KKN mahasiswa dari STAIDA(sekolah tinggi agama islam darussalam) blokagung.
baru sekali ini aku dengar suatu universitas tidak mengadakan KKN?bahkan kakak n teman ku di kampus lain heran.dan malah mengatakan"kuliah po ngunukwi koq g nek KKN e??"
atas kejadian tersebut ku mulai bertanya-tanya...perlukah KKN itu?atau cuma kampusku yang tidak ada??atau mgkin juga khusus fakultas teknik manapun tidak ada???
wokkeeeyyy ku coba cari tahu di mbah google dl...
searching...searching..searching.....
dapet ini sebagian halaman yg di dapat di blog sebelah:
""""Tidak dimungkiri, akhir-akhir ini efektivitas program KKN santer
diperdebatkan. Sebagian perguruan tinggi seperti Universitas Gajah Mada
(UGM), Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), dan UIN Sunan Kalijaga masih
mempertahankan program itu, meski bobotnya hanya 4 satuan kredit
semester (SKS). Tetapi di Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS)
Surakarta, kegiatan KKN sudah lama dihapus.
Selain itu, dalam masyarakat juga muncul stigma miring tentang KKN.
Pertama, sebagian masyarakat menganggap desa lokasi KKN berkonotasi
negatif: daerah miskin, terisolir, bodoh, terbelakang. Anggapan itu
muncul lantaran kebiasaan universitas yang hanya menerjunkan KKN di
daerah terbelakang saja. Wajar jika mereka prihatin dan tidak jarang
menolak desanya menjadi lokasi KKN.
Kedua, kegiatan yang menghabiskan biaya, tenaga, dan pikiran itu sering
tidak tepat sasaran. Penyebabnya karena sebagian besar mahasiswa
menjadikan KKN sekadar rekreasi, pindah makan atau tidur, bahkan
momentum mencari jodoh.
Lebih-lebih, bagi kalangan mahasiswa ekonomi mapan (kaya); mereka tak
perlu repot-repot tinggal di lokasi, apalagi melaksanakan program kerja
dan kegiatan kemasyarakatan lainnya. Cukup tanda tangan dan menjadi
’’bos’’ yang membiayai semua kegiatan. Begitu pengumuman ujian KKN,
mereka pasti mendapat nilai bagus.
Ketiga, tingkat keberhasilan KKN lebih sering diukur dari seberapa
banyak fasilitas fisik yang dibangun (masjid, gereja, musala, jalan,
selokan, sarana olah raga, MCK, dll). Adapun keberhasilan dalam aspek
nonfisik seperti kegiatan keterampilan, pelatihan, pendidikan dan
pencerahan masyarakat kurang diapresiasi.
Format Baru
Melihat kenyataan ini, wajar jika para stakeholder dan pakar pendidikan
berinisiatif mengganti KKN dengan mata kuliah lain yang lebih efektif,
tetapi tetap berorientasi pada nilai pengabdian pada masyarakat. Upaya
itu memang tidak mudah, karena terkait tradisi atau kebiasaan yang
berlangsung puluhan tahun.
Karena itu, perlu kajian mendalam dan komprehensif dengan mengambil
pelajaran sisi positif dan negatif dari pelaksanaan KKN yang selama ini
dilakukan. Perguruan tinggi yang masih mempertahankan KKN tidak perlu
disalahkan. Hanya saja, mereka perlu mengubah metode dan melakukan
beberapa langkah strategis berikut ini.
Pertama, mengembangkan model KKN dengan format baru, yang menempatkan
mahasiswa sebagai stimulus —bukan pelaku utama— masyarakat agar bisa
lebih berdaya, bermotivasi tinggi, dan optimistis memandang masa depan.
Model ini sudah lama dilakukan UNY dan UGM.
Di UNY, misalnya, jurusan kependidikan atau keguruan dijadikan satu
lokasi, dengan program praktik pengalaman lapangan (PPL). Sementara di
UGM, format baru itu disebut KKN Pembelajaran Pemberdayaan Masyarakat
(KKN-PPM). Program yang lebih dikenal dengan KKN Tematik ini mengusung
tema-tema besar seputar pemberdayaan pondok pesantren (Pontren).
Kedua, pihak perguruan tinggi perlu membentuk tim khusus yang bertugas
mengawasi seluruh rangkaian program KKN, mulai dari pendaftaran,
pemilihan lokasi, penempatan, monitoring, ujian, dan penentuan kelulusan
KKN. Dengan adanya tim ini, diharapkan segala bentuk penyimpangan dan
kecurangan bisa diminimalkan. Pihak perguruan tinggi juga perlu
mengoptimalkan peran dosen pembimbing lapangan (DPL). Selama ini,
keberadaan DPL kurang dirasakan manfaatnya karena jarang berada di
lokasi. Selain menyulitkan mahasiswa saat akan berkonsultasi, juga
menyebabkan peran pengawasan amat longgar, untuk mengatakan tidak ada
sama sekali. Inilah yang memicu terjadinya penyimpangan atau kecurangan
yang dilakukan mahasiswa.
Sudah saatnya KKN dilaksanakan dengan format baru. Selain lebih efektif
dan tepat sasaran, model ini juga akan berdampak positif bagi mahasiswa
pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Semoga! (Agus Wibowo,
mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta-32)
(/)
yups itu salah satu wacananya...mgkin bnr juga lo' KKN lbh banyak min dari pada plus....akhirnya ane udah mulai sadar..lebih baik di gunakan untuk PKL(PRAKTEK KERJA LAPANGAN) Yg memang udah di rencanain oleh pihak kampus .pa lagi jurusan ane yang teknik informatika komputer.yang akan lebih bermanfaat buat masyarakat!!
gmn pendapat konco2 sekarang????
2 komentar:
lo' menurutku ch..penting g penting..soalnya kembali ke kebijakan pihak kampus masing2!!!
setuju
Post a Comment